Selasa, 16 November 2010

Tarian Cinta

Sang begawan
tari bedoyo ketawang tarian murni melambangkan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung
Sembilan penari perempuan, berbusana dodot ageng dengan batik corak banguntulak alas-alasan menarikan tarian kraton, Bedhoyo Ketawang selama 2,5 jam.
Iringan gending Kethawang Gedhe membuat suasana di Pendopo Ageng Sasanasewaka nampak makin sakral dan religius. Konon, gending ini menjadi lebih terasa religius dan sakral ketika Sunan Kalijogo ikut dalam proses pembuatannya.
Tari ini biasanya dipagelarkan hanya acara Tinggalan dalem Jumenengan atau pada acara hari jadi penobatan raja dan hanya boleh dilihat oleh para pejabat dan kerabat keraton. Di jaman sekarang, tarian Bedhoyo dipagelarkan dan dapat dilihat secara bebas oleh khalayak pada tiap bulan Sya'ban.
Namun bukan itu yang menjadi fokus tulisanku hari ini.

Dari beberapa buku yang ku baca, dan juga pembicaraan jarak jauh dengan salah satu mantan penari kraton dengan spesialisasi Bedhoyo Ketawang yang bernama Raden Ayu Sri Sulastri banyak hal yang dapat digali. Bahkan, aku tertarik pada ritual yang dilakukan para perempuan itu sebelum menarikan Tarian Langit ini, karena ternyata banyak mengupas sisi sensualitas dari kaum perempuan.

Sebelum menarikan tarian ini, sembilan penari Bedhoyo Ketawang haruslah melakukan ritual puasa, menyucikan diri lahir dan bathin tidak dalam keadaan 'berhalangan bulanan' ketika menarikan [hal ini membuat adanya penari cadangan yang dipersiapkan untuk saat-saat tak terduga]. Namun lebih dari itu, hal yang paling menarik bagiku adalah sembilan penari ini haruslah menari dalam keadaan masih perawan.

Terkait dengan masalah keperawanan ini, karena sering kejadian sang raja merasa 'kesengsem' pada salah satu penari dan menginginkan
untuk menemani sang penguasa melewati malam.

Eyang Sulastri dalam dialognya denganku mengatakan salah satu sisi sensual yang keluar dari para penari Bedhoyo selain dilihat dari gerak tubuh juga dapat dipandang dari busana dodotan, yang dikenakan.

Kain batik yang dikenakan hanya menutupi bagian dada hingga kaki. Sedangkan para pandemen tari ini dengan bebasnya dapat melihat berkilaunya bagian bahu para penari yang dibaluri dengan lulur temanten yang biasanya berwarna kuning gading.
Selain itu, para penonton juga dapat melihat bagian betis para penari yang kadang kala terlihat dari batik yang tersingkap ketika melakukan gerakan memutar sembari memindahkan kain bagian bawah, dengan kaki.

Berdasarkan ilmu katuranggan Jawa, Eyang Sulastri , menyatakan sang raja akan memilih penari yang mempunyai bagian betis kaki yang melengkung kedalam, dan juga bagian 'kemiri' -letaknya di kanan kiri telapak kaki- yang terlihat menonjol. Dari ilmu itu, dikatakan bahwa perempuan yang mempunyai bentuk seperti itu, maka -biasanya- 'memuaskan' ketika bersetubuh.

[Jelas dalam pandangan kaum moderat, masalah katuranggan yang tercantum dalam primbon-primbon merupakan satu hal kuno yang tak dapat disandingkan dengan alam logika.

Arti kata sensulitas di era modern ini juga lebih mengedepankan sosok perempuan yang bertubuh super langsing, berpakaian minim nan terbuka, menggunakan pemerah bibir yang super merah, dan berambut bucheri alias 'bule cat sendiri'.

Berbeda dengan sensalitas yang diusung oleh kaum Jawa tempoe doeloe. Priyayi Jawa jaman baheula menganggap sensualitas perempuan Jawa dipandang dari tubuh berpinggang 'nawon kemit' ketika memakai kain dan kebaya menerawang, berdada padat dan berpantat besar, yang diyakini perempuan yang subur dan gampang melahirkan.

Sensualitas tiap jaman memang berubah-ubah, tergantung dari penilaian dan juga pandangan orang yang melihatnya. Semua serba relatif dan tergantung penilaian dan ego para pria yang mempunyai hak memilih. Sesuai perkataan Jawa, -pria berhak memilih, perempuan berhak menolak-. Kaum feminis yang mengusung doktrin kesetaraan pasti akan kembali mati-matian melawannya. So,gimana jika hal itu dibalik saja?

Kembali ke masalah Bedhoyo Ketawang, jika dikatakan sensualitas para penari Bedhoyo nampak jelas terlihat, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dilihat dari sisi filosofis Bedhoyo Ketawang sendiri, melambangkan curahan cinta asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung.

Hal ini terlukiskan dalam setiap gerak tangan, gerakan tubuh, dan juga
cara memegang sondher. Semua gerak merayu dan mencumbu
dalam Bedhoyo itu dirangkum sedemikian halusnya, hingga seringkali mata awam sangat sukar memahaminya. [Jelas, dengan 2,5 jam pagelaran dan melihat tari yang sangat lamban, bagi yang tak berkepentingan tak lebih hanya menciptakan kejenuhan].

Ada satu hal yang mungkin mudah dipahami oleh orang awam bahwa tarian ini adalah tarian lambang percintaan antara Ratu Kidul dengan Sultan Agung adalah, sembilan penari ini memakai busana dodot ageng dan paes ageng yang lazim digunakan oleh pasangan pengantin.

Dari Eyang Sulastri aku tahu bahwa dari beberapa cerita diketahui bahwa Sinuhun Paku Buwana X pernah menceritakan bahwa tarian ini murni melambangkan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung. Memang upaya tersebut selalu dapat dielakkan oleh Sultan Agung, bahkan Ratu Kidul meminta agar Sinuhun ikut menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, [Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan].

Namun demikian, Sultan Agung tidak menuruti kehendak Ratu Kidul karena masih ingin mencapai Sangkan Paran. Selanjutnya, begitu Sultan Agung bersedia memperistri Ratu Kidul, maka konsewensi secara turun temurun, setiap keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada hari peresmian kenaikan tahtanya.

Berdasarkan kitab Wedhapradangga, tarian Bedhoyo Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung, dan Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta hadir ke daratan untuk mengajarkan secara langsung tarian Bedhaya Ketawang pada para penari kesayangan Sinuhun.

Hal ini memang terlaksana, pelajaran tari ini dilakukan setiap hari Anggorokasih atau hari Selasa Kliwon. Sampai hari inipun, para penari kraton yang bertugas menarikan Bedhoyo Ketawang masih melakukan latihan pada hari yang ditentukan ini.
Mengingat bahwa tari ini dipandang sebagai satu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus, seringkali dipercaya bahwa sang penciptanya hadir setiap kali Bedhoyo Kethawang ditarikan.

"Memang tidak semua mata wadag dari orang-orang yang menyaksikan dapat melihatnya. Hanya orang yang peka indrawinya yang dapat melihat kehadiran dari Kanjeng Ratu yang membetulkan kesalahan yang dibuat oleh sang penari. Terkadang hanya para penari Bedhoyo itu yang dapat merasakan kehadiran Sang Penguasa laut kidul itu," kata eyang Sulastri.

'Wah, eyang sebagai salah satu penari Bedhoyo pernah merasakan kehadiran Sang Ratu donk,' tanyaku pada beliau.
'Ora perlu diudhar tho Sava, cah ayu? he he he he.....," singkat jawaban beliau atas pertanyaanku melalui telpon beberapa waktu lalu.






Solo, Kompas - Putra tertua mendiang PB XII, KGPH Hangabehi, Jumat (10/9) mengangkat dirinya sebagai Susuhunan Paku Buwono XIII dalam suatu upacara megah bertempat di Sitihinggil Keraton Surakarta. Pengangkatan "raja" itu didahului penobatannya sebagai putra mahkota bertempat di Dalem Prabasuyasa keraton. Seluruh upacara berjalan lancar, dan ditutup dengan persembahan tari sakral Bedhaya Ketawang, dilanjutkan dengan kirab keliling kota pada sore harinya.

Upacara jumenengan di Sitihinggil dihadiri ratusan undangan. Di antara para tamu undangan tampak perwakilan dari beberapa kedutaan besar asing seperti Pakistan dan Banglades.

Dari kalangan pejabat tampak Wali Kota Solo Slamet Suryanto, Bupati Wonogiri Begug Purnomosidhi, anggota MPR AM Fatwa, Guruh Soekarnoputra, Sultan Emiruddin dari Kanoman Cirebon, dan Sultan Badaruddin dari Palembang.

Prosesi jumenengan diawali pukul 08.30 di Dalem Prabasuyasa. Pada pukul 10.00, setelah berdoa dan bersumpah kepada leluhur, Hangabehi mengukuhkan dirinya sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Pangeran Ario Adipati Anom Amangkunagara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Pengukuhan itu disaksikan oleh saudara-saudaranya, terutama dari RAy Pradapaningrum, serta KGPH Haryomataram (79), sesepuh keraton.

Di depan hadirin di Sitihinggil, Hangabehi memaklumatkan dirinya sebagai Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Ingkang Kaping XIII. Sesaat kemudian, Haryomataram menyematkan bintang kebesaran Suryo Wasesa di dada PB XIII.

Prosesi jumenengan diselingi dengan sembahyang Jumat. Kemudian dilanjutkan di pendapa Sasana Sewaka keraton untuk menyaksikan tari Bedhaya Ketawang yang berlangsung selama 90 menit.

Dipertanyakan

"Saya sesungguhnya mempertanyakan langkah Tedjo (KGPAA Tedjowoelan--Red) mengangkat dirinya sendiri. Atas landasan apa dia berbuat demikian?" ujar Haryomataram kepada wartawan.

Haryomataram berharap, akan ada langkah damai di antara kedua belah pihak. Ia tidak menutup kemungkinan pihak pemerintah dilibatkan.

KGPAA Tedjowoelan yang diangkat tiga Pengageng Keraton Surakarta, saat dihubungi di Yogyakarta menyatakan, sepakat dengan ide Haryomataram untuk melakukan pembicaraan dengan kubu Hangabehi. "Namun, selama ini mereka yang selalu menolak duduk satu meja dengan kami," ujar Tedjowulan.

Petunjuk, Ganesa, dan Ratu Selatan

Berbeda dari istana Yogyakarta yang sudah lama meninggalkan tari upacara magis sebagai aktualisasi "perkawinan" raja Jawa dengan Ratu Selatan (yang di Keraton Yogya dinamakan tari Bedhaya Semang), Keraton Kasunanan Surakarta hingga kini setiap tahun masih mempergelarkan tari upacara yang berfungsi sama, yang bernama Bedhaya Ketawang. Perbedaan penyikapan terhadap warisan budaya di antara kedua keraton utama Jawa itu menunjukkan bahwa yang satu lebih memberi tekanan pada aspek budaya yang magis-ritual, sedangkan yang lain lebih mementingkan nilai astetik dan upaya pemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar